adiprasetyo-po-maju-lancar-jayaJakarta – Ada dua isu penting yang mencuat dalam beberapa bulan terakhir ketika berbicara soal pelayanan bisnis angkutan bus, terutama bus kelas ekonomi. Faktor kenyamanan dan pendukung keamanan yang disorot pemerintah berada di satu sisi, sementara isu perlunya subsidi berada di sisi yang lain.

Menyikapi berbagai isu tersebut, sudah seyogyanya kita berpikir secara jernih dan rasional. Bukan mengumbar justifikasi yang berujung pada adu pembenaran berdebat kusir yang tak berkesudahan. Walhasil, solusi yang adil dan membawa manfaat pun tak akan terjadi.

Memang, harus jujur diakui, ada bus yang kurang nyaman dengan standar pelayanan ala kadarnya. Tapi, sedikit bukti ini bukanlah alat untuk men-generalisir dan menyimpulkan bahwa kenyamanan dan keamanan semua angkutan bus di Tanah Air rendah.

Sekali lagi. Itu sangat tidak adil. Sebab, fakta empiris yang menunjukan masih banyak bus-bus yang menyediakan layanan oke, dengan layanan yang bagus dan aman, juga tak bisa dimungkiri. Bahkan, bus kelas ekonomi yang berpendingin udara (AC) pun jumlahnya tak bisa dihitung dengan jari.

bus-maju-lancar-buslovers_com
bus-maju-lancar-buslovers_com

Banyak perusahaan operator bus yang telah berubah paradigma. Manajemen modern dengan mengedpankan aspek humanis, bukan sesuatu yang langka untuk kita temui.

Berubah atau mati, bukanlah tagline isapan jempol semata bagi para operator bus. Terlebih, mereka juga tak menutup mata terhadap dunia yang terus berubah. Gaya hidup, keinginan, dan pengetahuan masyarakat yang nota bene konsumen jasa mereka juga terus berkembang.

Artinya, berdiam diri dengan layanan ala kadarnya sama halnya menggali lubang kubur sendiri. Hanya memang, fakta lain yang juga perlu direnungkan adalah, para operator bus juga menghadapi himpitan yang luar biasa beratnya. Investasi mahal (bunga kredit 12-16%), biaya perawatan dan operasional selangit yang berujung tergerusnya margin keuntungan.

Sebut sebagai contoh harga suku cadang yang naik 10-30% dalam setahun. Biaya sumberdaya manusia harus menyesuaikan dengan angka inflasi dan harga bahan kebutuhan pokok.

Sehingga, bisa dimaklumi jika banyak diantara operator bus yang meninggalkan segmen kelas ekonomi. Data berbicara, dari sekitar 1.500 operator bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP), kini hanya 25% yang menyediakan layanan kelas ekonomi. Padahal, beberapa tahun sebelumnya masih sekitar 60%.

Sementara, realita yang kerap tak terekam publik menyatakan, masih banyaknya masyarakat pengguna bus kelas ekonomi. Mereka bukan sekadar pelancong musiman, tetapi juga masyarakat yang secara rutin melakukan kegiatan usaha maupun bekerja sebagai karyawan. Dengan kata lain, melakukan kegiatan produktif.

Data tahun 2014 lalu menunjukan, tak kurang dari 1,5 juta orang yang diangkut bus –AKAP dan AKDP – saban bulannya, sekitar 500.000 orang diantaranya naik kelas ekonomi. Dan dari jumlah penumpang kelas itu, tak sedikit diantara mereka tercatat sebagai mahasiswa, backpacker, ibu rumah tangga, karyawan/pekerja pabrik, karyawan swasta, pegawai pemerintah, pedagang, para pekerja pelaju, dan lain-lain.

Kenyataan tersebut membuktikan bahwa selain menjalani peran sebagai sarana penunjang pergerakan roda perekonomian, bus kelas ekonomi juga melakukan fungsi pelayanan sosial. Satu hal lagi, melihat profil dan karakter para penumpangnya, sebagian besar sensitif dan mungkin sangat sensitif terhadap gejolak harga/tarif.

Walhasil, bisa dibayangkan jika tarif tiba-tiba melonjak atau bus menghilang sama sekali dari peredaran karena banyak yang memilih pensiun. Ketimpangan atau bahkan ‘kelumpuhan’ sosial ekonomi akan terjadi.

Urbanisasi, yakni para pekerja pelaju untuk pindah ke kota dimana mereka saban hari mencari nafkah pun bukan hal yang muskil marak. Masalah baru yang berkaitan dengan daya dukung kota pun akan muncul.

Sementara, pos pengeluaran rumah tangga untuk angkutan atau transportasi penunjang mobilitas pun dipastikan naik. Ujung-ujungnya tingkat inflasi pun bisa terkerek.

Oleh karena itu, agar semua ini tak terjadi, sudah semestinya subsidi angkutan bus kelas ekonomi diberikan. Yang perlu dicatat, subsidi tak berarti harus berupa dana, namun bisa saja berupa subsidi harga spare part, harga tiket bagi penumpang, suku bunga serta uang muka kredit, dan lain-lain.

Toh, sejatinya, yang merasakan manfaat dari itu semua bukan hanya para operator bus, tetapi juga masyarakat. Bukankah pemerintah juga berkewajiban untuk menyediakan sarana yang layak bagi mobilitas rakyatnya?

Pemerintah bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh pemerintah Australia yang memberi subsidi hingga 70% bagi penumpang angkutan kelas ekonomi. Atau pemerintah Prancis yang member subsidi hingga 40%.

Terlebih, dasar hukum subsidi itu sudah cukup jelas yakni pasal 185 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu-lintas dan Angkutan Jalan. Dengan berpijak pada pasal tersebut pemerintah dan atau pemerintah daerah bisa memberikan subsidi bagi angkutan umum.

Memang, perlu payung hukum dan instrumen untuk penyaluran subsidi tersebut agar transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Namun yang pasti, kehadiran subsidi Public Service Obligation (PSO) ini bukan hanya ditunggu tetapi juga diharapkan.

Jika pemerintah berniat untuk menetapkan ketentuan Standar Pelayanan Minimum (SPM) sebelum subsidi diberikan, itu bukanlah masalah bagi operator bus. Sebab, bagi mereka berbenah diri adalah inovasi yang merupakan nafas dalam menghadapi kondisi persaingan terkini.

*Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan Direktur Operasional PT Majulancar Prima pengelola PO Maju Lancar, Adiprasetyo.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here