Jongkie D SugiartoPasar kendaraan niaga atau komersial memang masih lesu terutama sejak 2013 lalu dimana komoditas sektor pertambangan dan perkebunan mulai lesu. Keadaan ini semakin sulit ketika sektor-sektor yang lain juga mengalami kondisi sulit seiring dengan melemahnya daya beli.

Maklum, konsumen – atau lebih tepatnya pasar- utama kendaraan komersial terutama truk dari kategori ringan hingga berat selama ini adalah sektor pertambangan, perkebunan, dan sektor konstruksi. Seperti diketahui, kondisi sektor pertambangan, khususnya batubara, hingga saat ini masih lunglai.

Itu terjadi setelah pemerintah menerbitkan Undang-undang Minerba pada tahun 2012. Padahal, di saat yang hampir berbarengan, permintaan komoditas batubara melemah.

Ada dua hal yang menyebabkan melorotnya permintaan. Pertama kondisi ekonomi negara-negara yang selama ini mengimpor batubara Indonesia setelah terkena dampak krisis global. Walhasil, kegiatan industri mereka masih belum maksimal.

China misalnya. Setelah menghadapi masalah perekonomiannya karena negara-negara mitra dagangnya di Eropa dan Amerika mengalami krisis, pertumbuhan ekonominya meninggi bahkan mendekati overheat. Akibatnya pemerintah negeri itu mengerem laju pertumbuhan ekonomi.

Dampaknya bagi Indonesia bisa ditebak, yakni permintaan batubara juga dipangkas. Sejumlah perusahaan tambang pun melakukan efisiensi produksi. Bahkan tak sedikit pula yang istirahat atau mati.

Kondisi sektor perkebunan – khususnya kelapa sawit. – setali tiga uang. Minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) yang selama ini mengalir deras ke China, India, Malaysia, dan Eropa, sejak beberapa tahun terakhir harganya melemah.

Selain perekonomian negara importir yang lesu, penyebab lain turunnya harga komditas ini adalah, harga minyak dunia yang di bawah US$ 50 per barel. Maklum, selain untuk bahan makanan, kosmetika, produk farmasi, dan lainnya, CPO juga menjadi bahan dasar bagi produksi bahan bakar (biofuel).

Rendahnya harga minyak juga menekan komoditas batubara karena permintaannya semakin rendah. Terlebih, pada tahun 2008 lalu di China, Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris ditemukan shale gas yakni gas alam baru yang menjadi bahan energy alternatif bagi industry. Harganya pun jauh lebih murah ketimbang minyak bumi.

Sedangkan CPO, selain menghadapi harga dan permintaan yang melemah, juga menghadapi tantangan baru. Sejumlah negara mengangkat isu lingkungan dan kesehatan untuk menerapkan pajak masuk. Prancis misalnya, pada 21 Januari lalu telah menggodok aturan baru tentang impor CPO dan segala macam turunannya yakni Amandemen Nomor 367. Dengan aturan itu, mulai awal tahun 2017 impor CPO dan turunannya dikenai pajak impor yang tinggi.

Itulah fakta di sektor komoditas. Sedangkan sektor lainnya yang selama ini juga menjadi penyerap kendaraan niaga terutama truk – dengan berbagai macam varian mulai dari pickup hingga truk besar – yakni sektor properti laju pertumbuhannya juga masih belum kencang. Maklum daya beli masyarakat juga masih belum sekuat beberapa tahun lalu.

Memang, orang bisa berkomentar dan berpendapat soal daya beli bisa diakali dengan program pembiayaan baik down payment dan suku bunga, karena Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan BI Rate hingga 75 basis poin sehingga menjadi 6,75%. Memang, bank memiliki ruang untuk itu. Tapi apakah bisa dengan serta merta? Tentu saja tidak, karena bank juga memiliki beban margin cost of fund.

Mereka juga memiliki tanggungan membayar bunga dari dana yang dihimpun misalnya deposito, tabungan, dan sebagainya. Sehingga jika bunga kredit yang dipatok dalam rangka fungsi lendingnya lebih rendah dari bunga simpanan, bisa merugi mereka.

Kini satu-satunya harapan yang bisa menjadi trigger pertumbuhan pasar kendaraan niaga – dan efeknya juga juga penyerapan kendaraan penumpang bahkan motor – adalah sektor infrastruktur. Pemerintah Presiden Joko Widodo sejak awal sudah mencanangkan 225 proyek infrastruktur dalam daftar proyek strategis nasional.

Memang, awal bulan ini dilpaorkan dari jumlah itu yang sudah berjalan masih belum sampai 40%. Tetapi saya pribadi yakin itu akan dilakukan akselerasi oleh pemerintah. Sebab, instrument kebijakan sudah ada, mulai dari undang-undang pertanahan, pemangkasan birokrasi perizinan, serta budget atau anggaran. Kalau pun ada kendala barangkali soal teknis.

Bahkan presiden sudah memanggil kepala Bappenas, Menko Perekonomian, dan Staf Kantor Presiden untuk mencari persoalan sekaligus merumuskan solusinya. Artinya, ini ada harapan besar. Karena sektor infrastruktur inilah kini harapan semua pihak termasuk sektor industri otomotif.

*Tulisan ini disarikan dari wawancara dengan Jongkie D Sugiarto, Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) di sela berbuka puasa bersama Gaikindo – GIIAS 2016.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here